Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam
praktek keperawatan, Kasus-kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring
dengan perkembangan ilmu maupun kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan,
termasuk di dalamnya dalam ranah praktek keperawatan kritis.
Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan
bahwa suatu perbuatan
atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4)
unsur,
yaitu:
1.
Duty
atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi
tertentu.
2.
Dereliction
of the duty atau penyimpangan kewajiban
3. Damage
atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian
akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
4.
Direct
cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”
Kewajiban (Duty)
Menurut Morton& Fontaine (2009), kewajiban adalah
hubungan legal antara dua pihak atau lebih. Kewajiban ini dapat timbul dari
berbagai macam situasi. Pada ranah keperawatan sendiri, kewajiban timbul akibat
adanya hubungan kontrak antara pasien dan fasilitas perawatan kesehatan. Dimana
pasien sepakat untuk membayar layanan perawatan kesehatan, sedangkan perawat
wajib memberikan perawatan pada pasien sebagaimana mestinya.
Seorang
perawat perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam merawat pasien
dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal memberikan perawatan
sebagaimana mestinya sesuai dengan kondisi pasien, perawat tersebut dianggap
melakukan pelanggaran pada kewajibannya
Adapun
yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam menentukan
perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga kegagalan dalam menentukan
diagnosa yang tepat.
Menurut
Urden (2010), jika seorang perawat gagal memperhatikan setiap bagian dari
proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi
dan evaluasi maka perawat tersebut dapat dianggap tidak kompeten dan melakukan suatu kelalaian.
Dibawah
ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh seorang
perawat kritis :
1.
Assessment
Failure
Adapun
yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam mengkaji maupun
menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien seperti tanda-tanda vital,
pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien.
Contoh
Kasus :
Seorang
pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan pemasangan chest tube pada
shift malam. Pada saat itu perawat lalai dalam melakukan monitoring pasien dari
pukul 23.00 sampai pukul 03.00, ketika dilakukan pengecekan kembali pada pukul
03.00 didapatkan keadaan pasien memburuk, pasien mengalami penurunan kesadaran,
oksimetri buruk, dan tanda-tanda vital dalam keadaan jelek. Kemudian klien
mengalami henti nafas dan henti jantung, dan kemudian segera dilakukan
resusitasi pada pasien. Namun, ternyata pasien tetap tidak terselamatkan
a.
Planning
Failure
Adapun
yang termasuk dalam planning failure
adalah kegagalan dalam menentukan perencanaan keperawatan yang yang berkaitan
juga kegagalan dalam menentukan diagnosa yang tepat.
b.
Implementation
Failure
Termasuk
di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang terkait
terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang tepat terhadap
pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentaian terhadap hasil-hasil
pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap intervensi yang
diberikan, serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.
Contoh
kasus :
Kegagalan
dalam Melakukan Tindakan yang Tepat : Seorang wanita mengalami kejang di
rumahnya, kemudian oleh suaminya segera di bawa ke rumah sakit. Sesampainya di
UGD pasien diberikan penanganan pertama seperti memberikan obat anti kejang dan
memastikan jalan nafas bersih, kemudian sang perawat meninggalkan pasien tanpa memasang
side rail. Tiba-tiba pasien mengalami kejang berulang, suaminya berusaha untuk
menolong dengan memeganginya, namun pasien tetap terjatuh dari tempat tidur
yang mengakibatkan fraktur pada tulang bagian wajahnya.
c.
Evaluation
Failure
Adapun
yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan dalam melaksanakan
fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat pasien masuk dan dirawat hingga
pasien pulang, perawat memiliki peran sebagai seorang advokat. Perawat
bertanggung jawab untuk mengevaluasi perawatan yang diberikan kepada pasien.
Pelanggaran Kewajiban (Breach of
Duty)
Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk bertindak
secara konsisten
sesuai
standar perawatan (Urden, 2010). Menurut Morton & Fontaine (2009), kelalaian
terbukti benar atau salah dengan membandingkan perilaku perawat dengan standar
perawatan. Pada umumnya, kelalaian dapat berupa kelalaian biasa atau kelalaian
berat. Kelalaian biasa menunjukkan kecerobohan profesional, sedangkan kelalaian
berat menunjukkan bahwa perawat tersebut secara sengaja dan sadar mengabaikan
resiko bahaya yang telah diketahui pasien.
Penyebab (Cause)
Menurut
Morton & Fontaine (2012), hukum malpraktik juga mencantumkan keharusan
adanya hubungan kausal antara perilaku perawat perawatan kritis dan
cedera
yang terjadi pada pasien. Cedera yang diderita pasien tersebut semestinya
harus
dapat dicegah.
Cedera (Damage)
Elemen
keempat dalam kelalaian adalah cedera. Cedera adalah luka atau sesuatu
yang
membahayakan yang didapatkan pasien kritis saat menjalani perawatan dan
biasannya
cedera yang didapatkan ini, dihitung sebagai kerugian material. Pasien
harus
membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh perawat tidak sesuai dengan
standar perawatan sehingga menimbulkan luka atau bahaya pada pasien. Oleh
karena itu, pasien berhak menerima kompensasi yang sesuai.
Standar Praktek Keperawatan Akut dan
Kritis
Adapun
standar praktik keperawatan akut dan kritis menurut ANA (2004),
yaitu
:
1.
Pengkajian
2.
Diagnosa
3.
Identifikasi
Hasil
4.
Perencanaan
5.
Implementasi
6.
Evaluasi
Malpraktek
Menurut Guwandi (2004) malpraktik mempunyai arti lebih luas
dibandingkan dengan kelalaian, karena dalam melpraktik selain tindakan yang
termasuk dalam kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam
kategori kesengajaan dan melanggar undang-undang. Malpraktik yang dilakukan
dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang termasuk dalam criminal
malpractice.
Guwandi (2004) juga mengemukakan perbedaan antara malpraktik
dan
kelalaian
dapat dilihat dari motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut,
yaitu
:
1.
Pada
malpraktik (dalam arti sempit) – tindakan yang dilakukannya secara sadar,
dengan tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak
tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya melanggar
undang-undang.
2.
Pada
kelalaian - petindak tidak menduga terhadap timbulnya akibat dari tindakannya.
Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari petindak dan tidak ada motif
dari petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.
Secara
garis besar, tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medik dapat didakwakan
pasal-pasal tertentu dalam KUH Pidana yang relevan dengan unsur
tindak
pidana yang dilakukannya. Dengan demikian tindakan malpraktik tenaga
kesehatan
dapat dikenakan selain sanksi adminstratif seperti pencabutan izin dan
sanksi
perdata, dapat pula dikenakan sanksi pidana.
Namun,
ketika perawat digugat untuk suatu kelalaian dikarenakan dianggap ”mencederai”
pasien pada saat melaksanakan tugasnya, penggugat/pasien tidak bisa dengan
serta merta meminta ganti rugi terkait injury tersebut terkecuali jika perawat
memang mengakui bahwa ia melakukan malpraktik yang menyebabkan pasien cedera.
Menurut
Ashley (2003), elemen-elemen dari kelalaian harus dibuktikan oleh penggugat/pasien.
Dengan kata lain, penggugat memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa
pernyataannya adalah benar. Adapun elemen-elemen yang harus dibuktikan oleh
penggugat/pasien yaitu
1.
Penggugat
harus menunjukkan bahwa perawat memiliki kewajiban terhadap penggugat
2.
Jika
penggugat mampu menunjukkan kewajiban dari perawat tersebut, penggugat harus
mampu menggambarkan standar perawatan
3.
Jika
penggugat mampu menggambarkan standar perawatan, penggugat harus mampu
menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran dari standar perawatan tersebut
4.
Meskipun
pelanggaran mampu ditunjukkanm penggugat harus mampu membuktikan bahwa
pelanggaran ini menyebabkan cedera pada penggugat
5.
Ketika
penggugat membuktikan bahwa pelanggaran menyebabkan cedera, penggugat harus
mampu membuktikan bahwa timbul berbagai macam kerugian dikarenakan pelanggaran
dari kewajiban tersebut.
Jika
pengugat tidak mampu membuktikan setiap elemen satu persatu, maka ini akan
menjadi hal yang sulit bagi penggugat untuk membuktikan kebenaran kasusnya
Informed Consent (Persetujuan
Tindakan)
Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis
terhadap suatu hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent
dinyatakan valid jika memenuhi tiga elemen yaitu : pasien harus kompeten atau
sadar untuk menyetujui, pasien harus diberikan informasi yang adekuat sehingga
mampu mengambil keputusan, dan pasien pada saat pengambilan keputusan harus
bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef, 2010).
Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang persetujuan
tindakan kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu
kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit
menyal sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut
tidak diperlukan. Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak membutuhkan
persetujuan tindakan dan pasien dapat melepaskan haknya untuk memberikan
persetujuan tindakan dengan menyatakan ia tidak menginginkan informasi mengenai
rencana terapi atau prosedur (Morton, 2009).
Menurut
Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien untuk memberikan informed
consent merupakan isu yang terpisah. Sebuah hasil survey yang cukup unik
dilakukan pada Swedish Acute Coronary Trialist mengenai pendapat tentang
kompetensi pasien gawat darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa
pasien SKA tidak akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan
tentang informed consent itu sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir bahwa
jumlah informasi yang biasanya mereka berikan kepada pasien sudah cukup banyak.
Hasil ini sepertinya menunjukkan apa yang banyak dipikirkan dan dirasakan oleh
physicians lainnya diluaran sana khususnya dalam memberikan informed consent :
seperti halnya pasien yang berkurang kompetensinya, bahkan yang lebih parah lagi
kebanyakan dari mereka tidak membacakan lembar informed consent ini. Jadi poin
yang terpenting dari hasil penelitian ini adalah bahwa defisit dari kompetensi
seorang pasien tidak mudah untuk dideteksi dengan pemeriksaan medis rutin.
Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau
keluarga adalah tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta untuk
menyaksikan penandatanganan formulir persetujuan tersebut. Pada kasus ini
perawat bersaksi
bahwa
tanda tangan pada formulir persetujuan tersebut adalah tanda tangan pasien
atau
keluarga. ketika perawat menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai
sifat
terapi yang direncanakan, resiko, manfaat, dan kemungkin akibat perawat
dapat
memberikan catatan pada formulir persetujuan tersebut atau pada catatan
perawat
yang menyebutkan “prosedur disaksikan” (Morton, 2009).
Wrongful Death
Menurut
Urden (2010), wrongful death merupakan kematian pasien yang disebabkan oleh
kelalaian dari petugas kesehatan profesional ataupun dari organisasi rumah
sakit tersebut.
Contoh
Kasus :
Tn.
B, 67 tahun, datang ke rumah sakit dengan COPD stadium akhir, hipoksemia, dan
retensi karbondioksida dan memakai bantuan oksigen menggunakan nasal kanul.
Keadaan Umum Tn.B sudah sangat buruk. Perawat M datang dan kemudian langsung
melepaskan oksigen pasien dan mulai memindahkan pasien ke ruangan sebelah yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari ruangannya yang sekarang. Keluarga meminta
agar oksigen tetap dipasang, tapi Perawat M mengatakan bahwa ruangannya sangat
dekat. Setelah pasien dipindahkan ke bed di ruangan yang baru tersebut, pasien
didapati berhenti bernapas.
Dari
kasus diatas menunjukkan kelalaian perawat karena melakukan pemindahan pasien
tanpa memasang oksigen dimana perawat tersebut tampak mengabaikan keadaan umum
pasien dan hal yang sangat mendasar dari kebutuhan dasar manusia yaitu
oksigenasi. Oleh karena itu, untuk menghindari liabilitas wrongful death,
penting sekali bagi perawat untuk memperhatikan keadaaan akut dan kritis dari
pasien, mengenali tanda dan gejala dari komplikasi ataupun sesuatu yang
membahayakan pasien, dan kewenangan untuk melindungi pasien (Urden, 2010).
Liabilitas Pengganti
Menurut
Morton & Fontaine (2009), pada beberapa kasus seseorang atau lembaga dapat
dianggap bertanggung jawab terhadap tuduhan orang lain atau lembaga lain. Hal
ini disebut sebagai liabilitas pengganti. Dibawah ini merupakan berbagai tipe
liabilitas :
1.
Respondeat
Superior
Doktrin
ini merupakan teori legal utama yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung
jawab terhadap kelalaiannya, hal ini berdasarkan filosofi dikarenakan rumah
sakit biasanya mendapatkan keuntungan dari pasien yang mencari perawatan,
apabila terjadi kelalaian rumah sakit harus membayar beberapa kerugian yang
ditimbulkan oleh pegawai tersebut.
2.
Liabilitas
Perusahaan
Liabilitas
perusahaan berlaku pada saat rumah sakit dianggap bertanggung jawab terhadap
tindakan yang tidak semestinya. Sebagai contoh, apabila ditemukan sebuah unit
sangat tidak memadai keadaan stafnya sehingga menimbulkan pasien cedera, rumah
sakit dianggap bertanggung jawab.
Liabilitas
perusahaan dapat juga terjadi pada situasi yang mengambang, seorang perawat
yang bekerja di tatanan perawatan kritis harus memiliki kompetensi untuk
melakukan penilaian segera dan bertindak pada keputusan tersebut. Apabila ada
seorang perawat yang tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman di ruang
perawatan kritis dengan baik, maka biasanya akan dilakukan rotasi.
3.
Kelalaian
Pengawasan
Kelalaian
pengawasan diklaim saat seorang penyelia gagal mengawasi bawahannya. Sebagai
contoh, jika ada seorang perawat yang baru di rotasi ke ruang perawatan kritis
dan oleh kepala ruangan diperintah untuk melakukan tindakan keperawatan dan
pada akhirnya menimbulkan cedera pada pasien. Maka yang bertanggung jawab
disini adalah kepala ruangan tersebut karena kelalaian pengawasan.
4.
Doktrin
Nahkoda
Pada
suatu waktu dokter dianggap sebagai nahkoda. Jadi perawat cenderung mengikuti
instruksi dari dokter. Namun, konsep ini telah diganti dengan konsep legal yang
disbut aturan liability personal, yaitu dilandasi dengan pendidikan,
pengalaman, dan latihan diharapkan perawat dapat mengambil keputusan yang baik.
Jadi, ketika mereka tidak yakin dengan kebenaran instruksi dokter, perawat
dapat melakukan klarifikasipada dokter tersebut.
EmoticonEmoticon