Hak untuk Menolak Perawatan Medis
Menurut
Urden (2010), hak untuk menyetujui dan informed consent didalamnya mencakup
penolakan treatement. Pada banyak kasus, keputusan seseorang yang dianggap
kompetern untuk menolak perawatan sekalipun perawatan ini ditujukan untuk
penyelamatan jiwa, namun hal ini tetap dihargai.
Hak
untuk menolak perawatan tidak diterima pada beberapa situasi, mencakup didalamnya
adalah
1.
Perawatan
berhubungan dengan penyakit menular yang dapat mengancam kesehatan publik
2.
Penolakan
untuk melanggar standar etik
3.
Treatement
harus diberikan, untuk mencegah pasien bunuh diri dan mempertahankan kehidupan
Pada
saat pasien menolak suatu perawatan, masalah etik, legal, dan praktik menjadi
meningkat. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki kebijakan spesifik
terkait permasalahan tersebut.
Penahanan atau Pengakhiran Terapi (Withholding and Withdrawing Treatement)
Seperti
penjelasan sebelumnya, telah disampaikan bahwa orang dewasa memiliki hak untuk
menolak perawatan, meskipun tujuan dari perawatan tersebut untuk mempertahankan
kehidupan. Namun, hal ini akan menjadi masalah jika pasien tersebut kehilangan
kompetensi/kemampuan untuk mengambil keputusan yang bisa disebabkan karena
semakin memburuknya keadaan pasien.
Namun,
dewasa ini rekomendasi penghentian terapi dapat diberikan oleh petugas
kesehatan pada kasus-kasus tertentu, yang menjadi permasalahan adalah ketika
keluarga tidak menyetujui dan tetap ingin melanjutkan terapi. Pemberi perawatan
kesehatan juga tidak mempunyai jalan
legal untuk melawan keluarga yang menolak mencabut bantuan hidup kecuali
sebelumnya pasien sudah meninggalkan petunjuk tertulis pada saat pasien masih
kompeten (Morton & Fontaine, 2009).
Advance Directives : Living Will and
Power of Attorney
Menurut
(Richard, 2011) advances directive merupakan instruksi spesifik yang
dipersiapkan pada penyakit serius yang sudah lanjut. Dimaksudkan untuk menuntun
pelayan kesehatan berdasarkan keinginan pasien jika suatu saat pasien tidak
kompeten/mampu lagi untuk menyatakan pilihan atau mengambil keputusan terkait
perawatan kesehatannya. Adapun keputusan tersebut seperti hal nya sebagai
berikut :
1.
Penggunaan
cairan intravena dan pemberian nutrisi secara parenteral
2.
Resusitasi
kardiopulmonal
3.
Penggunaan
untuk upaya penyelamatan hidup ketika kemampuan pasien mengalami gangguan.
Misal : kerusakan otak, demensia, ataupun stroke
4.
Prosedur
spesifik, contoh : transfusi darah
Advances directives
diantaranya meliputi living
will dan power
of attorney. Menurut Morton
(2012), living will merupakan bentuk arahan tertulis dari seorang
pasien yang kompeten pada keluarga dan anggota tim perawatan kesehatan mengenai
keinginan pasien apabila pasien tidak lagi dapat menyatakan keinginannya.
Sedangkan Power of Attorney, merupakan dokumen legal dimana pasien menunjuk
orang yang diberi tanggung jawab dan diberi kekuatan untuk membuat keputusan
mengenai pelayanan kesehatan jika pasien sudah tidak dapat lagi membuat
keputusan dan tidak dapat berkomunikasi lagi.
Perawat kritis harus mampu menjelaskan
sebaik-baiknya kepada pasien dan keluarga terkait living will
maupun power of attorney dan dalam hal ini perawat dapat berperan
sebagai advokat klien.
Instruksi Jangan Meresusitasi (DNR)
Menurut Morton & Fontaine (2009), angka keberhasilan RJP
pada pasien rawat inap sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh lingkungan pasien
dan faktor resusitatif. Akan tetapi, RJP tidak selalu tepat untuk dilakukan ke
semua pasien, karena sifatnya yang invasif dan dapat bermakna sebagai suatu
pelanggaran hak individu untuk meninggal secara bermartabat. Oleh karena itu,
RJP bisa tidak diindikasikan pada pasien-pasien yang mengalami kasus
ireversibel ,penyakit yang terminal, dan saat pasien tidak mendapat manfaat
apapun dari tindakan ini,
Oleh
karena itu, setiap rumah sakit perlu memiliki aturan yang jelas mengenai
tindakan DNR tersebut. Menurut Urden (2011) , aturan mengenai DNR tersebut,
harus diatur dalam suatu kebijakan tertulis yang mencakup hal-hal dibawah ini
1.
Perintah
DNR harus terdokumentasi dengan baik oleh dokter yang bertanggung jawab
2.
Perintah
DNR harus dilengkapi dengan second opinion dari dokter yang lain
3.
Kebijakan
DNR harus ditinjau ulang secara berkala
4.
Pasien
yang masih memiliki kemampuan harus memberikan informed consent
5.
Pada
pasien yang tidak memiliki kemampuan, dapat diwakilkan oleh keluarganya
Kematian Otak
Menurut Morton & Fontaine (2012), pasien yang mengalami
kematian otak secara legal telah meninggal, dan tidak ada kewajiban legal untuk
memberikan terapi pada pasien tersebut. Tidak diperlukan persetujuan hukum untuk
menghentikan bantuan hidup pada seorang pasien yang mengalami kematian otak.
Selanjutnya, meskipun lebih diharapkan mendapatkan izin keluarga untuk
menghentikan terapi pada pasien yang mengalami kematian otak, namun tidak ada
keharusan.
Di
Indonesia sendiri kematian otak diatur dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 yang
berbunyi “Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirkulasi dan
sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian
batang otak telah dibuktikan.
Donasi Organ
Menurut
Dewi (2008), hukum memandang transplantasi adalah suatu usaha yang baik dan
mulia di dalam upaya menyehatkan dan menyejahterakan manusia, walaupun jika
dilihat dari tindakannya adalah tindakan melawan hokum berupa penganiayaan.
Donasi
organ di Indonesia diatur dalam UU Kesehatan No .36 Tahun 2009. Dalam UU ini
dijelaskan bahwa tubuh yang telah mengalami mati batang otak dapat dilakukan
tindakan pemanfaatan organ untuk kepentingan transplantasi organ. Tindakan
transplantasi organ dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
dikomersialkan. Ketentuan UU ini juga
diperkuat oleh PP No.18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat
anatomis, dan transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia. Didalam PP
tersebut dijelaskan bahwa untuk melakukan transplantasi organ sebelumnya harus
ada informed consent, baik pendonor dan penerima telah diberitahukan resiko dan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, selain itu donasi organ dilakukan tidak
dengan tujuan komersil serta tidak boleh menerima atau mengirim organ tubuh
dari dan ke luar negeri.
KESIMPULAN
Dewasa
ini kesadaran masyarakat mengenai hak.-haknya dalam pelayanan kesehatan dan
tindakan legal semakin meningkat. hal ini berarti pengawasan kepada perawat
selaku pemberi pelayanan kesehatan akan semakin meningkat. Banyak sekali
isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya dalam keperawatan kritis dan
gawat darurat.
Isu-isu
tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan kelalaian perawat maupun isu yang
terkait bantuan hidup pada pasien. Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang
perawat kritis untuk selalu menjalankan peran serta fungsinya dan melakukan
tindakan sesuai dengan standar keperawatan dan lebih memahami ataupun meningkatkan
pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek legal khususnya pada
ranah keperawatan kritis maupun keperawatan gawat darurat sehingga perawat
kritis dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum yang rentan sekali
terjadi di dunia kesehatan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ake, J
(2003). Malpraktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGC
Ashley,
Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty, progressive,
and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73
Guwandi.
(2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Hendrik.
(2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC
Hyde,
Elizabeth, Maria. (2006). The Knowledge of Critical Care Nurses Regarding Legal
Liabilty Issues. Disertation. Department of Nursing
Science
University of Pretoria diakses melalui http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007 123802/unrestricted/dissertation.pdf.
Iwanowski,
Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials in Emergency
Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics Vol 13 pp : 333-336
http://documents.tips/documents/makalah-isu-berkaitan-dengan-aspek-legal-dalam-kgd-dan-kritis.html
EmoticonEmoticon